31.3.10

Kisah Sebuah Mantel


Sore hari itu, di tengah rintik-rintik hujan orang-orang berjalan hilir mudik dalam wajah-wajah asing tak bersapa, tetapi beberapa dari mereka menatapku dari etalase kaca yang membatasiku dengan dunia luar. Jarum jam terus bergerak kau, dan sekarang mentari senja mulai berlabuh, tetapi wajah-wajah itu tetap asing dan hanya berlalu begitu saja melewatiku. Berbeda dengan hari biasanya, kali ini aku benar-benar merasa lelah tegak berdiri.

Tepat ketika bulu-buluku akan semakin kering dan mengeras, perasaan hangat terpancar dari seorang wanita yang dengan langkah ringannya berjalan menghampiriku. Aku menatapnya, ia membalas tatapanku dengan lembut. Waktu seketika berhenti, hanya ada aku dan dia dalam lorong yang semakin meleburkan batas, "Can't take my eyes of you..can't take my eyes...".Tiba-tiba, semua kembali bergerak, bahkan begitu cepat! Aku mulai sadar dan dihinggapi perasaan aneh dalam diriku. Ada sesuatu yang tunbuh, sesuatu yang lembut dan tanpa syarat.

Ia beranjak lalu menghampiri penjaga toko tua dan menanyakan aku, mantel putih yang hampir usang ini. Hanya sejenak percakapan mereka, sekarang ia sudah mengenakanku dalam perjalanan pulangnya. Kulitnya begitu dingin, bahkan terasa sepi ketika aku untuk pertama kali mendekap dirinya. Akan tetapi, kini sekarang aku ada untuk mengahangatkannya dari ruang lengang yang sepi!

Senyumnya kini merekah. Ia selalu mengenakanku di tengah hujan dan dingin malam menusuk. Hari demi hari terus berganti, tawa riangnya selalu menghiasai wajahnya, sedih dan lelahnyapun semakin memudar. Tanpa kusadari, kini bulu-buluku semakin menghangat dan warnanya semakin memutih.

Musim mulai berganti, kini titik hujan berganti dengan cerah mentari. Pada hari itu, ketika matahari begitu teriknya ia untuk pertama kalinya menanggalkanku. Kemudian itu terjadi terus dan terus seiring teriknya matahari bersinar. Aku kini selalu digantung di balik kamar, tak tersentuh, berdebu. Bulu-bulukupun semakin kasar dan telah banyak yang berguguran.

Suatu ketika, ia membuka pintu kamarnya dan melihat diriku yang tergantung usang. Dalam harunya ia berkata, "Maafkan aku baru menyadari sekarang. Engkau bukan nafas dan darahku, ini bukan cinta melainkan keegoisan semata karena cinta hanya memberi buakn terus menuntut seperti ini kepadamu, tapi tolong jangan tinggalkan aku karena aku membutuhkanmu..!" Hatiku seketika itu berantakan, dunia begitu keras menghantam. Lama aku terdiam, berangan mengharapkan itu tidak nyata. Akan tetapi di sinilah aku, dalam renungan untuk memilih apakah aku menuruti perasaan yang sedang remuk redam ini untuk pergi meninggalkannya dalam sepi seperti sebelum aku ada atau tetpa bersama dirinya, hanay ketika dingin dan sepi menusuknya?

(anonim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar